Monday, February 24, 2014

PESISIR DAN LAUT



 Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Namun, karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara terpadu. Kebijakan pemerintah yang sektoral dan bias daratan, akhirnya menjadikan laut sebagai kolam sampah raksasa. Dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia.
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu atau yang lebih di kenal dengan Integrated Coastal Zone Management atau disingkat ICZM adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan.

Ekosistem Laut dan Pesisir

Berdasarkan kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Dilihat dari garis pantai, maka wilayah pesisir memiliki dua macam batas yaitu: batas yang sejajar garis pantai dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai. Akan tetapi, penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada kesepakatan. Dengan kata lain batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara ke negara lain karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri.
Menurut kesepakatan internasional terakhir, wilayah pesisir didefini­sikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh dinamika air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua. Dalam hasil rapat kerja nasional proyek MREP di Manado 1994, telah di tetapkan bahwa batas ke arah laut suatu wilayah pesisir adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam Peta Lingkungan Pantai Indonesia (PLPI) dengan skala 1:50.000 yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Sedangkan batas ke arah darat adalah mencakup batas administratif seluruh desa pantai yang termasuk ke dalam wilayah Pesisir.
Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah: terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, formasi pescaprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman.
Sumberdaya di wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat pulih dan tidak dapat pulih, sumberdaya alam yang dapat pulih seperti: perikanan, rumput laut, padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang, sedangkan sumberdaya tak dapat pulih antara lain: minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral serta bahan tambang lainnya.

Pengelolaan Pesisir
Secara normatif, kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh negara untuk dikelola sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengor­ban­kan kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya, sebagian besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan masyarakat darat lainnya.
Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu yang menguntungkan instansi sektor dan dunia usaha terkait. Akibatnya, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil cenderung eksploitatif, tidak efisien, dan sustainable (berkelanjutan). Banyak faktor-faktor yang menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan sumberdaya pesisir ini, antara lain ketidakjelasan pemilikan dan penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum, serta konflik pengelolaan. Ketidak­jelasan pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir masih sering terjadi di berbagai tempat. Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa pemilik (open access property), tetapi berdasarkan pasal 33 UUD 1945, dan UU Pokok Perairan No. 6/1996, dinyatakan sebagai milik pemerintah (state property). Namun, ada indikasi di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi pemilikan pribadi (quasi private proverty). Di beberapa wilayah pesisir atau pulau masih dipegang teguh sebagai milik kaum atau masyarakat adat (common property).
          Perbedaan penerapan konsep pemilikan dan penguasaan sumber­daya ini mendorong ketidakjelasan siapa yang berhak untuk menge­lo­lanya. Hal ini mendorong berbagai pemilik modal untuk mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini secara berlebihan, kalau tidak maka pihak lain yang akan memanfaatkannya, dan tidak ada insentif untuk meles­ta­ri­kannya, sehingga terjadi bencana bersama yang baru.
           Pada dasarnya, hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia terjadi konflik-konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan. Masing-masing mempunyai tujuan, target, dan rencana untuk mengeksploitasi sumber­daya pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran, dan rencana tersebut mendo­rong terjadinya konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan.
          Pengelolaan lautan sangat terkait dengan kebijakan nasional yang mengatur pengelolaan wilayah laut. Adapun batas wilayah lautan dimulai dari batas yurisdiksi di darat sampai ke laut lepas sejauh klaim Negara yang bersangkutan. Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS) membe­ri­kan dasar hukum bagi negara-negara pantai untuk menentukan batasan lautan sampai ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan landas kontinen. Dengan dasar itu, suatu negara memiliki wewenang untuk meng­eksploitasi sumberdaya yang ada di zona tersebut.
           Berbicara masalah kelautan, memang masih ada ketidakjelasan perbedaan antara wilayah pesisir dengan wilayah lautan. Para ahli oseanografi dengan persepsi global terhadap masalah kelautan, biasanya menganggap seluruh area yang ada dalam batas paparan benua sebagai wilayah pesisir. Sedangkan para pengelola wilayah pesisir biasanya menganggap seluruh area di luar batas wilayah laut territorial sebagai wilayah laut.
           Dengan demikian yang membedakan antara program pengelolaan lautan dengan pengelolaan wilayah pesisir adalah pada ruang lingkup pengelolaannya. Program pengelolaan wilayah pesisir mencakup ka­wasan daratan sampai laut pesisir, sedangkan pengelolaan lautan hanya meliputi pengelolaan wilayah laut di luar paparan benua.

Rangkuman


Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya.
Menurut kesepakatan internasional terakhir, wilayah pesisir didefinisikan sebagaiwilayah peralihan antara laut dan daratan, kearah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan kearah laut meliputi daerah paparan benua.
Secara normatif, kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh negara untuk dikelola sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang.
 
 
Kasus/Permasalahan
1.    Jelaskan apakah yang dimaksud dengan wilayah pesisir itu !
2.   Apakah perbedaan ekosistem pesisir dan daratan?
3.   Identifikasi flora dan fauna di pesisir?
4.   Sebutkan faktor-faktor yang menyebabkan ketidak-efektifan penge­lolaan sumberdaya pesisir?
5.   Lembaga apakah Bakorsurtanal itu?
6.   Secara normatif siapakah pemilik wilayah pesisir itu dan apa tanggung jawabnya?


0 comments:

Post a Comment