Wilayah pesisir memiliki arti
strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut,
serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat
kaya. Namun, karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan
diintegrasikan secara terpadu. Kebijakan pemerintah yang sektoral dan bias
daratan, akhirnya menjadikan laut sebagai kolam sampah raksasa. Dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih
terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing. Nelayan sebagai
jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia.
Pengelolaan
wilayah pesisir secara terpadu atau yang lebih di kenal dengan Integrated Coastal Zone Management atau
disingkat ICZM adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir dengan cara melakukan penilaian
menyeluruh tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran
pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan
pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan.
Ekosistem Laut dan Pesisir
Berdasarkan kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu
wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Dilihat dari garis pantai, maka wilayah pesisir memiliki
dua macam batas yaitu: batas yang sejajar garis pantai dan batas yang tegak
lurus terhadap garis pantai. Akan tetapi, penetapan batas-batas suatu wilayah
pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada
kesepakatan. Dengan kata lain batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara ke
negara lain karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya
dan sistem pemerintahan tersendiri.
Menurut kesepakatan internasional terakhir, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut
dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh dinamika
air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua.
Dalam hasil rapat kerja nasional proyek MREP di Manado 1994, telah di tetapkan
bahwa batas ke arah laut suatu wilayah pesisir adalah sesuai dengan batas laut
yang terdapat dalam Peta Lingkungan Pantai Indonesia (PLPI) dengan skala
1:50.000 yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan
Nasional (BAKOSURTANAL). Sedangkan batas ke arah darat adalah mencakup batas
administratif seluruh desa pantai yang termasuk ke dalam wilayah Pesisir.
Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan dan
sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan.
Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah: terumbu
karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, formasi pescaprea,
formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan
antara lain berupa: tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan
industri, kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman.
Sumberdaya di wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat pulih
dan tidak dapat pulih, sumberdaya alam yang dapat pulih seperti: perikanan,
rumput laut, padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang, sedangkan sumberdaya
tak dapat pulih antara lain: minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit,
dan mineral serta bahan tambang lainnya.
Pengelolaan Pesisir
Secara
normatif, kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh negara untuk dikelola
sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat
bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan
datang. Ironisnya, sebagian besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang
bermukim di wilayah pesisir justru menempati strata ekonomi yang paling rendah
bila dibandingkan dengan masyarakat darat lainnya.
Selama ini,
kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan
berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu yang menguntungkan
instansi sektor dan dunia usaha terkait. Akibatnya,
pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil cenderung eksploitatif, tidak
efisien, dan sustainable
(berkelanjutan). Banyak faktor-faktor yang menyebabkan ketidakefektifan
pengelolaan sumberdaya pesisir ini, antara lain ketidakjelasan pemilikan dan
penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum, serta konflik pengelolaan. Ketidakjelasan
pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir masih sering terjadi di berbagai
tempat. Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa pemilik (open access property), tetapi
berdasarkan pasal 33 UUD 1945, dan UU Pokok Perairan No. 6/1996, dinyatakan
sebagai milik pemerintah (state property).
Namun, ada indikasi di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi
pemilikan pribadi (quasi private proverty).
Di beberapa wilayah pesisir atau pulau masih dipegang teguh sebagai milik kaum
atau masyarakat adat (common property).
Perbedaan penerapan konsep pemilikan
dan penguasaan sumberdaya ini mendorong ketidakjelasan siapa yang berhak untuk
mengelolanya. Hal ini mendorong berbagai pemilik modal untuk mengeksploitasi
sumberdaya wilayah pesisir ini secara berlebihan, kalau tidak maka pihak lain
yang akan memanfaatkannya, dan tidak ada insentif untuk melestarikannya,
sehingga terjadi bencana bersama yang baru.
Pada dasarnya, hampir di seluruh
wilayah pesisir Indonesia terjadi konflik-konflik antara berbagai pihak yang
berkepentingan. Masing-masing mempunyai tujuan, target, dan rencana untuk
mengeksploitasi sumberdaya pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran, dan rencana
tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan.
Pengelolaan
lautan sangat terkait dengan kebijakan nasional yang mengatur pengelolaan
wilayah laut. Adapun batas wilayah lautan dimulai dari batas yurisdiksi di
darat sampai ke laut lepas sejauh klaim Negara yang bersangkutan. Konvensi
Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS) memberikan dasar hukum bagi negara-negara pantai
untuk menentukan batasan lautan sampai ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan landas
kontinen. Dengan dasar itu, suatu negara memiliki wewenang untuk mengeksploitasi
sumberdaya yang ada di zona tersebut.
Berbicara masalah
kelautan, memang masih ada ketidakjelasan perbedaan antara wilayah pesisir
dengan wilayah lautan. Para ahli oseanografi dengan persepsi global terhadap
masalah kelautan, biasanya menganggap seluruh area yang ada dalam batas paparan
benua sebagai wilayah pesisir. Sedangkan para pengelola wilayah pesisir
biasanya menganggap seluruh area di luar batas wilayah laut territorial sebagai
wilayah laut.
Dengan demikian yang
membedakan antara program pengelolaan lautan dengan pengelolaan wilayah pesisir
adalah pada ruang lingkup pengelolaannya. Program pengelolaan wilayah pesisir
mencakup kawasan daratan sampai laut pesisir, sedangkan pengelolaan lautan
hanya meliputi pengelolaan wilayah laut di luar paparan benua.
Rangkuman
|
Kasus/Permasalahan
1. Jelaskan
apakah yang dimaksud dengan wilayah pesisir itu !
2. Apakah perbedaan ekosistem pesisir dan daratan?
3. Identifikasi flora dan fauna di pesisir?
4. Sebutkan faktor-faktor yang menyebabkan ketidak-efektifan
pengelolaan sumberdaya pesisir?
5. Lembaga apakah Bakorsurtanal itu?
6. Secara normatif siapakah pemilik wilayah pesisir itu dan
apa tanggung jawabnya?
0 comments:
Post a Comment